Horas! Di artikel ini saya akan membahas tentang instrumen musik tradisional dari Sumatera Utara, yang dimiliki oleh etnik Mandailing, yang berasal dari daerah Mandiling Natal (Madina) dan Tapanuli Selatan (Tapsel)
Gordang Sambilan adalah warisan budaya bangsa Mandailing dan tidak ada duanya dalam budaya etnis
lainnya di Indonesia. dan Malaysia. Gordang Sambilan diakui oleh ahli/pakar etnomusikologi sebagai satu ensembel muzik yang teristimewa di dunia.
Bagi orang Mandailing terutama di masa lalu, Gordang Sambilan merupakan musik adat sakral (kudus) yang terpenting. Gordang Sambilan dipandang sakral karena dipercayai mempunyai kekuatan gaib memanggil roh nenek moyang untuk memberi pertolongan melalui medium atau shaman yang di namakan Sibaso.
Sarama / Penari Credit: M. Dolok Lubi
Gordang Sambilan adalah warisan budaya bangsa Mandailing dan tidak ada duanya dalam budaya etnis
lainnya di Indonesia. dan Malaysia. Gordang Sambilan diakui oleh ahli/pakar etnomusikologi sebagai satu ensembel muzik yang teristimewa di dunia.
Bagi orang Mandailing terutama di masa lalu, Gordang Sambilan merupakan musik adat sakral (kudus) yang terpenting. Gordang Sambilan dipandang sakral karena dipercayai mempunyai kekuatan gaib memanggil roh nenek moyang untuk memberi pertolongan melalui medium atau shaman yang di namakan Sibaso.
Oleh karena itu, pada masa lalu, di setiap
kerajaan otonom yang banyak terdapat di Mandailing harus ada
satu ensambel Gordang Sambilan. Alat musik sakral itu di tempatkan
di Sopo Godang (Balai Sidang Adat dan Pemerintahan Kerajaan)
atau di satu bangunan khusus untuknya yang dinamakan Sopo
Gordang yang terletak dekat Bagas Godang (kediaman raja).
Gordang Sambilan hanya digunakan untuk upacara adat dan perayaan
Hari Raya Idul Fitri.
Instrumen Gordang
Sambilan
Gordang Sambilan terdiri dari sembilan buah gendang dengan ukuran yang relatif sangat besar dan panjang. Ukuran besar dan panjangnya kesembilan gendang tersebut bertingkat, mulai dari yang paling besar sampai pada yang paling kecil.
Gordang Sambilan terdiri dari sembilan buah gendang dengan ukuran yang relatif sangat besar dan panjang. Ukuran besar dan panjangnya kesembilan gendang tersebut bertingkat, mulai dari yang paling besar sampai pada yang paling kecil.
Tabung resonator Gordang Sambilan terbuat
dari kayu yang dilumbangi dan salah satu ujung lobangnya (bagian
kepalanya) ditutup dengan membran yang terbuat dari kulit
lembu yang ditegangkan dengan rotan sebagai alat pengikatnya.
Untuk membunyikan Gordang Sambilan digunakan kayu pemukul.
Untuk membunyikan Gordang Sambilan digunakan kayu pemukul.
Masing-masing gendang dalam ensambel Gordang
Sambilan mempunyai nama sendiri. Namanya tidak sama di semua
tempat di seluruh Madailing. Karena masyarakat Madailing yang
hidup dengan tradisi adat yang demokratis punya kebebasan
untuk berbeda.
Instrumen musik tradisional Gordang Sambilan
dilengkapi dengan dua buah ogung (gong) besar Yang paling
besar dinamakan ogung boru-boru (gong betina) dan yang lebih
kecil dinamakan ogung jantan (gong jantan), satu gong yang
lebih kecil yang dinamakan doal dan tiga gong lebih kecil
lagi yang dinamakan salempong atau mong-mongan. Gordang Sambilan
juga dilengkapi dengan alat tiup terbuat dari bambu yang dinamakan
sarune atau saleot dan sepasang simbal kecil yang dinamakan
tali sasayat.
Penggunaan Gordang Sambilan
Sarama / Penari Credit: M. Dolok Lubi
Pada zaman sebelum Islam, Gordang Sambilan
digunakan untuk upacara memanggil roh nenek moyang apabila
diperlukan pertolongannya. Upacara tersebut dinamakan paturuan
Sibaso (memanggil roh untuk merasuk/menyurupi medium Sibaso).
Tujuannya untuk minta pertolongan roh nenek moyang, mengatasi
kesulitan yang sedang menimpa masyarakat, seperti misalnya
penyakit berjangkit. Gordang Sambilan digunakan juga untuk
upacara meminta hujan atau menghentikan hujan yang turun terlalu
lama dan menimbulkan kerusakan. Selain itu dipergunakan pula
untuk upacara perkawinan yang dinamakan Orja Godang Markaroan
Boru dan untuk upacara kematian yang dinamakan Orja Mambulungi.
Penggunaan Gordang Sambilan untuk kedua upacara
tersebut, karena untuk kepentigan pribadi harus lebih dahulu
mendapat izin dari pemimpin tradisional yang dinamakan Namora
Natoras dan dari Raja sebagai kepala pemerintahan. Permohonan
izin itu dilakukan melalui suatu musyawarah adat yang disebut
markobar adat yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Namora Natoras
dan Raja beserta pihak yang akan menyelenggarakan upacara.
Selain harus mendapat izin dari Namora Natoras
dan Raja untuk penggunaan Gordang Sambilan dalam kedua upacara
tersebut harus disembelih paling sedikit satu ekor kerbau
jantan dewasa. Jika persaratan tersebut tidak dipenuhi maka
Gordang Sambilan tidak boleh digunakan.
Untuk upacara kematian (Orja Manbulungi)
yang digunakan hanya dua buah yang terbesar dari instrumen
Gordang Sambilan yang digunakan, yaitu yang dinamakan Jangat.
Tapi dalam konteks penyelenggaraan upacara kematian ia dinamakan
Bombat.
Penggunaan Gordang Sambilan dalam upacara
adat disertai dengan peragaan benda-benda kebesaran adat,
seperti bendera-bendera adat yang dinamakan Tonggol, payung
kebesaran yang dinamakan Payung Raranagan.
Gordang Sambilan juga digunakan untuk mengiringi
tari yang dinamakan Sarama. Penyarama (orang yang melakukan
tari Sarama) kadang-kadang mengalami kesurupan (trance) pada
waktu menari karena dimasuki oleh roh nenek moyang. Demikian
juga halnya dengan pemain Gordang Sabilan. Pada masa belakangan
ini Gordang Sambilan selain masih digunakan oleh orang Mandailing
sebagai alat musik adat yang sakral, juga sudah ditempatkan
sebagai alat musik kesenian tradisional Mandailing yang sudah
mulai populer di Indonesia dan bahkan di Eropa dan Amerika
Serikat. Karena dalam beberapa lawatan kesenian tradisional
Indonesia ke dua Kontinen tersebut sudah diperkenalkan Gordang
Sambilan. Orang Mandailing yang banyak terdapat di Malaysia
sudah mulai pula menggunakan Gordang Sambilan untuk berbagai
upacara.
Dengan ditempatkannya Gordang Sambilan sebagai
instrumen musik kesenian tradisional Mandailing, maka Gordang
Sambilan sudah digunakan untuk berbagai keperluan di luar
konteks upacara adat Mandailing. Misalnya untuk menyambut
kedatangan tamu-tamu agung, perayaan-perayaan nasional dan
acara pembukaan berbagai upacara besar serta untuk merayakan
Hari Raya Adul Fitri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar